Perannya di Timnas Indonesia sangat vital. Meski demikian, jenderal lapangan tengah ini masih kurang terkenal dibanding sejumlah pemain Timnas lainnya.
Di Stadion Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (28/11/2009), saya terkesima. Sore itu saya terkagum-kagum menyaksikan cara bermain Ahmad Bustomi, gelandang Arema, saat klub asal Malang itu melakoni pertandingan melawan Persitara di ajang Liga Super Indonesia.
Pertandingan itu berakhir tanpa gol. Arema, yang bercokol di puncak klasemen, tak bisa menaklukkan Persitara yang kala itu berada di zona degradasi. Tomi—sapaan Ahmad Bustomi—gagal membawa klubnya meraih kemenangan. Namun itu tak mengurangi kekaguman saya padanya.
Sepanjang pertandingan, Tomi menjadi jenderal lapangan tengah Arema. Dia membagi bola, mengontrol permainan, juga mengatur ritme: kapan harus bermain dengan tempo cepat dan kapan harus lambat. Tak hanya memanjakan para penyerang dengan umpan-umpang matang, sering pula Tomi berjibaku membantu para bek menghalau serangan lawan.
Sore itu awalnya saya hanya ingin memperhatikan empat bintang Arema: Noh Alam Shah (striker), M Ridhuan (pemain sayap), Roman Chmelo (gelandang serang) dan Pierre Njanka (bek tengah). Begitu melihat teknik tinggi yang diperagakan Ahmad Bustomi, perhatian saya serta merta beralih. Terang saja saya gembira ada pemain lokal seperti Tomi yang mampu mengalihkan perhatian saya—mungkin juga perhatian para penonton lainnya—dari pemain-pemain asing yang bergaji menjulang itu.
Itulah kali pertama saya melihat Ahmad Bustomi di lapangan hijau. Sejak itu, saya selalu memperhatikan cara dia bermain, baik saat membela Arema maupun ketika menjadi punggawa Timnas.
Muda berprestasi
Ahmad Bustomi lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 13 Juni 1985. Sejak musim kompetisi 2008-2009, Tomi membela Arema. Sebelum itu, pemain berpostur 167 cm ini bermain untuk Persikoba Batu (2004) dan Persema Malang (2005-2008).
Di level yunior, Tomi memulai kiprahnya di Sekolah Sepak Bola Unibraw. Setelah itu dia bergabung dengan Persema U-18.
Timnas tidak asing lagi buat Tomi. Pada musim 2006-2007, dia membawa panji-panji Timnas U-23. Saat itu dia menjadi anggota skuad Sea Games 2007 yang dilatih Ivan Kolev.
Musim kompetisi 2009/2010 lalu menjadi masa keemasan Ahmad Bustomi. Dia berhasil mengantarkan Arema menjadi Juara Liga Super Indonesia dan runner up Piala Indonesia.
Good boy
Di luar lapangan hijau, Ahmad Bustomi adalah sosok yang sangat perhatian kepada keluarga, baik istri maupun orang tuanya. Saya masih ingat betul bagaimana Tomi dengan mata berkaca-kaca membeberkan masa kecilnya, saat diwawancara reporter ANTV beberapa bulan lalu.
Tomi berkisah, keinginannya untuk menjadi pemain sepak bola professional sudah tumbuh sejak kecil. Namun sayang, kondisi finansial keluarganya sangat pas-pasan. “Untuk membelikan sepatu saya, orang tua harus berhutang kepada tetangga,” tutur Tomi. Sepatu itu kemudian dipakainya terus-menerus hingga sobek dan jebol.
Tomi mengatakan, sepatu itu menjadi saksi jerih-payahnya menekuni sepak bola. Karena itu dia menyimpannya baik-baik. Bagi Tomi, sepatu itu adalah pengingat diri agar tidak lupa kepada orang tua yang sangat menyokong keinginannya menjadi pemain sepak bola professional.
Tentang pemain idolanya, Tomi menyebut satu nama: Bima Sakti. Kita tahu, Bima Sakti pernah jadi gelandang Timnas pada era Kurniawan Yulainto dkk. Dia terkenal memiliki tendangan kencang dan akurat. Tomi bersahabat dengan Bima kala keduanya bermain di Persema.
“Dia bukan hanya panutan di dalam lapangan, tapi juga di luar lapangan,” kata Tomi, mengenai Bima Sakti.
Kurang terkenal
Pada perhelatan AFF Suzuki Cup 2010, Tomi bertandem dengan Firman Utina di lini tengah. Posisi Tomi sedikit di belakang Firman, tetapi keduanya juga kerap bertukar posisi.
Dari empat pertandingan yang dilakoni Timnas di turnamen ini, Tomi selalu diturunkan penuh waktu, kecuali saat Timnas Indonesia berhadapan dengan Thailand. Pada pertandingan yang dimenangi Indonesia dengan skor 2-1 itu, Tomi diturunkan pada menit-menit akhir.
Jika kita perhatikan dengan seksama, sejatinya kontribusi Ahmad Bustomi di Timnas tak kalah besar dibanding pemain-pemain lainnya. Dia memang belum mencetak gol, namun perannya dalam membagi bola dan mengatur ritme permainan tak bisa dipandang sebelah mata.
Pada pertandingan melawan Filipina, terlihat betul bagaimana kinerja dan kontribusi Tomi. Berkat pemain berposisi jangkar ini, aliran bola dari lini belakang ke lini depan dapat berlangsung dengan cukup baik. Umpan-umpan diagonal yang dia lepaskan ke arah pemain sayap juga cukup bagus, walau beberapa kali disia-siakan oleh Arif Suyono.
Hingga kini, harus diakui, Ahmad Bustomi masih kalah tenar dibanding Firman Utina, Bambang Pamungkas, Christian Gonzales, Markus Horison, atau the new rising star Irfan Bachdin. Namun bukan tidak mungkin, kelak Ahmad Bustomi bakal setenar mereka, jadi rebutan klub-klub elit dan berpenghasilan menjulang.
Saya punya keyakinan begitu. Bagaimana dengan Anda?