Pages - Menu

Pages

Kamis, 16 Oktober 2014

Perang Jawa Diponegoro (1825-1830)

Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Mustahar lahir di keraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Ayah Diponegoro adalah anak sulung Sultan Yogya ke dua (2) dari istrinya resmi yaitu Ratu Kedaton yang sangat berperan penting bagi Diponegoro.

Selama masa kecil di keraton dan Tegalrejo, Diponegoro sudah bergaul akrab dengan para santri. Dari sinilah ia akan berkenalan dengan Kiai Mojo penasihat agama pasukannya selama perang Jawa, dia menerima nama dewasa dengan nama Raden Ontowiryo pada 25 Februari 1807 ketika ia menikah dengan putri anak bupati wilayah timur Yogya. Pernikahan pertama Diponegoro dengan seorang putri guru agama terkemuka di kawasan Sleman bernama Raden Ayu Madubrongto putri Kiai Gede.

Diponegoro mulai berhenti mengunjungi pesantren saat dirinya memilih meninggalkan hal duniawi sebelum terjadinya perang Jawa. Penampakan pertama dari pertapaan Diponegoro terjadi di Gua Song Kamal di daerah Jejeran arah selaran Yogya. Penampakan itu berupa Sunan Kalijogo dan Sembilan wali yang muncul bagai sinar purnama memberi tahu bahwa ia akan menjadi raja yang dipilih Allah untuk Jawa.

Penampakan kedua yang dialami dari pertapaan Diponegoro terjadi di kemahnya di Kamal daerah Kulon Progo saat berlangsungnya perang Jawa. Penampakan itu berupa sosok Ratu Kidul yang menawarinya sebuah kemenangan melawan Belanda dengan membantunya menjadi manusia tetapi Diponegoro menolaknya karena percaya akan kuasa Allah. Di malam hari kemudian Sultan mengalami penampakan kembali di kemahnya dari Sunan Kalijogo yang memberitahu bahwa datangnya penghancuran Yogya tidak sampai tiga (3) tahun lagi, suara itu juga mengatakan tidak ada yang lain, engkau sendiri hanya sarana namun tidak lama hanya disejajarkan dengan leluhur.

Di dalam buku Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 karya Peter Carey menuliskan masa pemerintahan Belanda kembali lagi setelah ada penyerahan kembali Jawa dan daerah lain oleh Inggris pada 19 Agustus 1816. Pengaruh pemerintahan Belanda di Yogyakarta telah membawa pengaruh buruk.

Selama pemerintahan berlangsung terjadi korupsi yang sangat besar di keraton, hal ini yang membuat Diponegoro tidak menyukai lingkungan keraton dan memilih melanjutkan kehidupannya untuk menyepi. Pada saat penyepian pertama di Gua Secang di Selarong, Diponegoro bermimpi didatangi oleh Wali Songo yang memberi pesan bahwa sang Ratu Adil akan datang.

Selama satu bulan Smissaert memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogya. Satu diantaranya melewati pagar sebelah timur Tegalrejo tempat tinggal Diponegoro. Pengerjaan patok tersebut telah mengusik ketenangan warga Tegalrejo.Keadaan ini telah berlangsung sampai dua bulan, Diponegoro telah memberi perintah agar tiang-tiang patok di jalan diganti dengan tombak tanda bahwa Pangeran menganggap pembangunan jalan raya tanpa pemberitahuan sebagai penyebab perang.

Tiba pasukan bersenjata pendukung Diponegoro di Tegalrejo menimbulkan pertempuran sengit, permukiman Diponegoro lalu jatuh ke tangan pasukan ekspedisi Belanda, Pangeran berhasil lolos bersama sebagian besar pendukungnya melalui jalan setapak didekat sawah.

Pertempuran terus dilakukan, panglima perang Sentot Ali Basyah dan pangeran Ngabehi berhasil mengalahkan pasukan ekspedisi Belanda di Selarong, pasukan Diponegoro juga sangat leluasa di pedesaan Mataram.

Sentot mulai memperoleh kemenangan dari tepi timur kali Progo sampai ke Surakarta. Kemenangan susul menyusul dengan cepat terjadi di kawasan Kasuran, Bantul, Kejiwan dan Delanggu membuat sebagian daerah Inti Jawa Tengah Selatan jatuh kebawah kekuasaan Diponegoro.

Belanda sempat putus asa hanya pertengkaran Kiai Mojo dan Diponegoro yang menjadi jalan keluar bagi Belanda untuk melumpuhkan pasukan Diponegoro. Diponegoro bersitegang dengan Kiai Mojo karena Diponegoro menginginkan dirinya dijadikan pemimpin jawa dan pemimpin pemuka agama masyarakat Jawa sedangkan Kiai Mojo menolak keinginan Diponegoro dan mengusulkan dirinya sebagai pemimpin pemuka agama yang akhirnya ditolak oleh Diponegoro juga.

Percekcokan ini menimbulkan penyerah diri Kiai Mojo kepada Belanda, akhirnya Kiai Mojo bekerjasama dengan Belanda. Selain masalah percekcokan dengan Kiai Mojo Pangeran juga mengalami masalah saat Panglima perangnya Sentot Ali Basyah menginginkan dirinya untuk memungut pajak bagi penduduk untuk membiayai keperluan dirinya dan pasukannya. Sentot Ali Basyah lupa akan strategi perang yang diberikan Diponegoro untuknya karena sibuknya mengurusi urusan pajak,.

Sentot mengalami kekalahan besar dalam pertempuran dengan Belanda. Diponegoro sendiri hampir tertangkap dengan pasukan gerak cepat Belanda tetapi berhasil melarikan diri dengan meninggalkan kudanya dan terjun ke jurang bersama dengan dua (2) ajudan kawal pribadinya. Di dalam pelariannya Diponegoro terkena penyakit malaria yang membuat dirinya menjadi lemah dan memilih upaya damai dengan De Kock.

Diponegoro menyetujui dirinya diasingkan ke Menado bersama dengan anak dan istrinya. Mereka mulai dibawa oleh De Kock ke Semarang dan membawa kembali mereka ke Batavia untuk menunggu kapal pengasingan yang membawa mereka ke Manado. Di dalam pengasingan untuk menghindari campur tangan Inggris akhirnya Diponegoro dipindahkan ke Makasar dan tetap berada disana hingga akhir hidupnya.