Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas
Mustahar lahir di keraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Ayah Diponegoro
adalah anak sulung Sultan Yogya ke dua (2) dari istrinya resmi yaitu Ratu
Kedaton yang sangat berperan penting bagi Diponegoro.
Selama masa kecil di keraton dan Tegalrejo,
Diponegoro sudah bergaul akrab dengan para santri. Dari sinilah ia akan berkenalan
dengan Kiai Mojo penasihat agama pasukannya selama perang Jawa, dia menerima
nama dewasa dengan nama Raden Ontowiryo pada 25 Februari 1807 ketika ia menikah
dengan putri anak bupati wilayah timur Yogya. Pernikahan
pertama Diponegoro dengan seorang putri guru agama terkemuka di kawasan Sleman
bernama Raden Ayu Madubrongto putri Kiai Gede.
Diponegoro mulai berhenti mengunjungi
pesantren saat dirinya memilih meninggalkan hal duniawi sebelum terjadinya
perang Jawa. Penampakan pertama dari pertapaan Diponegoro terjadi di Gua Song
Kamal di daerah Jejeran arah selaran Yogya. Penampakan itu berupa Sunan
Kalijogo dan Sembilan wali yang muncul bagai sinar purnama memberi tahu bahwa
ia akan menjadi raja yang dipilih Allah untuk Jawa.
Penampakan kedua yang dialami dari pertapaan
Diponegoro terjadi di kemahnya di Kamal daerah Kulon Progo saat berlangsungnya
perang Jawa. Penampakan itu berupa sosok Ratu Kidul yang menawarinya sebuah
kemenangan melawan Belanda dengan membantunya menjadi manusia tetapi Diponegoro
menolaknya karena percaya akan kuasa Allah. Di malam hari
kemudian Sultan mengalami penampakan kembali di kemahnya dari Sunan Kalijogo
yang memberitahu bahwa datangnya penghancuran Yogya tidak sampai tiga (3) tahun
lagi, suara itu juga mengatakan tidak ada yang lain, engkau sendiri hanya
sarana namun tidak lama hanya disejajarkan dengan leluhur.
Di dalam buku Kuasa Ramalan Pangeran
Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 karya Peter Carey
menuliskan masa pemerintahan Belanda kembali lagi setelah ada penyerahan
kembali Jawa dan daerah lain oleh Inggris pada 19 Agustus 1816. Pengaruh
pemerintahan Belanda di Yogyakarta telah membawa pengaruh buruk.
Selama pemerintahan berlangsung terjadi
korupsi yang sangat besar di keraton, hal ini yang membuat Diponegoro tidak
menyukai lingkungan keraton dan memilih melanjutkan kehidupannya untuk menyepi. Pada saat
penyepian pertama di Gua Secang di Selarong, Diponegoro bermimpi didatangi oleh
Wali Songo yang memberi pesan bahwa sang Ratu Adil akan datang.
Selama satu bulan Smissaert memperbaiki jalan-jalan
kecil di sekitar Yogya. Satu diantaranya melewati pagar sebelah timur
Tegalrejo tempat tinggal Diponegoro. Pengerjaan patok tersebut telah mengusik
ketenangan warga Tegalrejo.Keadaan ini telah berlangsung sampai dua bulan, Diponegoro telah
memberi perintah agar tiang-tiang patok di jalan diganti dengan tombak tanda
bahwa Pangeran menganggap pembangunan jalan raya tanpa pemberitahuan sebagai
penyebab perang.
Tiba pasukan bersenjata pendukung Diponegoro
di Tegalrejo menimbulkan pertempuran sengit, permukiman Diponegoro lalu jatuh
ke tangan pasukan ekspedisi Belanda, Pangeran berhasil lolos bersama sebagian
besar pendukungnya melalui jalan setapak didekat sawah.
Pertempuran terus dilakukan, panglima perang Sentot
Ali Basyah dan pangeran Ngabehi berhasil mengalahkan pasukan ekspedisi Belanda
di Selarong, pasukan Diponegoro juga sangat leluasa di pedesaan Mataram.
Sentot mulai memperoleh kemenangan dari tepi
timur kali Progo sampai ke Surakarta. Kemenangan susul menyusul dengan cepat terjadi
di kawasan Kasuran, Bantul, Kejiwan dan Delanggu membuat sebagian daerah Inti
Jawa Tengah Selatan jatuh kebawah kekuasaan Diponegoro.
Belanda sempat putus asa hanya pertengkaran
Kiai Mojo dan Diponegoro yang menjadi jalan keluar bagi Belanda untuk
melumpuhkan pasukan Diponegoro. Diponegoro bersitegang dengan Kiai Mojo karena
Diponegoro menginginkan dirinya dijadikan pemimpin jawa dan pemimpin pemuka
agama masyarakat Jawa sedangkan Kiai Mojo menolak keinginan Diponegoro dan
mengusulkan dirinya sebagai pemimpin pemuka agama yang akhirnya ditolak oleh
Diponegoro juga.
Percekcokan ini menimbulkan penyerah diri Kiai
Mojo kepada Belanda, akhirnya Kiai Mojo bekerjasama dengan Belanda. Selain
masalah percekcokan dengan Kiai Mojo Pangeran juga mengalami masalah saat
Panglima perangnya Sentot Ali Basyah menginginkan dirinya untuk memungut pajak
bagi penduduk untuk membiayai keperluan dirinya dan pasukannya. Sentot Ali
Basyah lupa akan strategi perang yang diberikan Diponegoro untuknya karena sibuknya
mengurusi urusan pajak,.
Sentot mengalami kekalahan besar dalam
pertempuran dengan Belanda. Diponegoro sendiri hampir tertangkap dengan
pasukan gerak cepat Belanda tetapi berhasil melarikan diri dengan meninggalkan
kudanya dan terjun ke jurang bersama dengan dua (2) ajudan kawal pribadinya. Di dalam
pelariannya Diponegoro terkena penyakit malaria yang membuat dirinya menjadi
lemah dan memilih upaya damai dengan De Kock.
Diponegoro menyetujui dirinya diasingkan ke
Menado bersama dengan anak dan istrinya. Mereka mulai
dibawa oleh De Kock ke Semarang dan membawa kembali mereka ke Batavia untuk
menunggu kapal pengasingan yang membawa mereka ke Manado. Di dalam
pengasingan untuk menghindari campur tangan Inggris akhirnya Diponegoro
dipindahkan ke Makasar dan tetap berada disana hingga akhir hidupnya.